Laman

Kamis, 29 Desember 2011

AKU DAN ANAK KECIL ITU

Jakarta di siang hari ibarat berada di depan pintu neraka. Kau pernah ke pintu neraka? Cobalah sekali-kali main ke sana, kalau aku terus terang belum pernah. Panas menyengat. Sinar matahari seakan membakar seluruh tubuh. Panasnya terasa ke ujung kepala. Itu belum seberapa. Masih ditambah dengan hiruk-pikuk lalu lintas kota. Suara bising kendaraan yang lalu-lalang. Salakkan klakson sahut-menyahut bagai anjing hutan kelaparan. Teriakan kondektur bus kota memanggil calon penumpang, kadang makian dan umpatan terlontar sambil menyebut penghuni kebun binatang Ragunan. Suara-suara itu berjejalan masuk ke telingaku tak kenal ampun. Entah kenapa keramahan dan keindahan kota Jakarta yang sering terlihat di layar televisi? Atau memang ini wajah aslinya?

Pentas kota raya ini aku saksikan di bawah naungan salah satu halte bus kota di jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Kau tentu tahu Tugu Selamat Datang dengan air mancur melambai-lambai. Dari tempat aku duduk sekarang, aku dapat melihat tinggi menjulang patung pria wanita itu berdiri. Sudah berapa lama meraka di sana? Kasihan sekali nasib mereka.

Seorang anak laki-laki datang menghampiriku. Dari topi yang ia pakai terlihat gambar lambang partai politik peserta pemilu. Kaus biru lusuh, luntur warnanya mungkin karena keseringan dipakai dan dicuci. Celana pendek hitam yang ia kenakan tidak lebih baik keadaanya. Dan yang melindungin telapak kakinya dari sengatan panasnya aspal adalah sandal jepit merek Swallow.

“Sepatunya mau disemir om?” tanya sang bocah. Matanya memancarkan cahaya penuh pengharapan. Terdengar lebih sebagai permohonan dari pada pertanyaan.

“Maaf dik”, kepalaku menggeleng pelan.

Mendengar jawaban dariku ia nampak kecewa. Seketika pancaran di bola matanya padam. Akan tetapi mengembang juga senyum lugu dari bibir mungilnya. Mungkin ia sedang menabahkan diri atau sudah terbiasa menerima penolakan. Kemudian ia pun duduk di halte yang sama dengan ku. Tidak terlalu dekat. Kotak semirnya ia letakkan di atas paha. Kakiknya bergoyang-goyang, boleh jadi di dalam hati ia sedang berdendang.

Lihat anak sekecil itu, kutaksir umurnya tidak lebih dari 8 tahun, seharusnya berada di dalam kelas sedang menerima cahaya ilmu dari guru teladan. Atau sedang bermain dengan anak-anak seusianya menikmati masa kecil bahagia. Dia masih teramat muda untuk hidup di jalan kota besar. Baik fisik maupun mentalanya masih sangat rapuh untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Di rimab raya kota Jakarta apapun bisa terjadi. Cukup sering diberitakan baik di televisi maupun di surat kabar, anak seusianya menjadi korban kekerasan, pemerasan, pelecehan seksual dan tindak kejahatan lainnya.

Aku palingkan pandanganku dari anak kecil itu, tak sanggup aku melihatnya. Berkelebat di dalam pikiranku, bagaimana kalau anakku nanti bernasib seperti anak itu? Bagaimana kalau anak itu ternyata anakku? Ah, aku tak sangguh membayangkan betapa teriris-irisnya perasaan hatiku.

Aku dan anak kecili itu, nasibku tidak lebih baik darinya.

Tiga bulan yang lalu aku masih bekerja dengan gaji yang tak mungkin bisa membuat aku cepat menjadi orang kaya. Akan tetapi setidak-tidaknya nasibku lebih baik dari mereka yang masih berada di dalam antrian panjang para pengangguran. Itu tiga bulan yang lalu sebelum perusahaan di mana aku bekerja mengeluarkan kebijakan “restrukturisasi”, demikian istilah yang mereka pakai untuk mengusirku.

Dipecat, kenapa harus takut? Aku masih muda. Umurku baru 29 tahun. Lajang tanpa kewajiban menafkahi anak-istri. Pemecatan bukan akhir dari segalanya, bukan kiamat. Demikian aku menghibur diri sendiri. Sumpah ini sulit. Kenyataannya pemecatan itu bagai pukulan telak bagiku. Siapapun tahun biaya hidup di kota ini. Jangankan untuk makan-minum, sekedar untuk menunaikan hajat ketika kebetulan sedang kebelet pipis di terminal itu pun harus bayar. Bukan omong kosong kalau ada yang bilang bahwa di Jakarta apapun bisa dijadikan uang, atau dengan kata lain apapun harus dengan uang. Dan ketika mendadak aku kehilangan satu-satunya sumber penghasilanku aku menjadi limbung seperti seorang petinju terkena pukulan bertubi-tubi.

Roda kehidupan selalu berputar, kadang berada di atas, kadang berada di bawah. Jatuh bangun dalam hidup adalah hal biasa. Sekarang aku sedang berada di bawah putaran roda sang nasib. Tinggal bagaimana aku kembali bangkit dan bergerak maju. Aku yakin suatu saat nanti sang nasib akan membawaku ke puncak kehidupan. Aku yakin akan hal itu, aku harus yakin. Keyakinan itu jua yang membawaku sampai ke halte bus ini, membawa beberapa map berisi berkas-berkas lamaran kerja. Tak lupa di dalam hati aku berdo’a, semoga ada satu dua perusahaan yang membutuhkan darah segar untuk kembali diperas.

Sampai pada saat ini sudah 4 perusahaan yang aku datangi. Sungguh aneh, di kantor-kantor perusahan itu aku mengalami kejadian yang hampir sama. Resepsionisnya wanita cantik rupawan, menyambutku dengan senyum mengembang, menanyakan keperluanku dengan tutur kata halus lagi sopan, setelah aku jawab maksud dan tujuanku, resepsionis-resepsionis itu berkata “maaf untuk saat ini di perusahaan kami belum ada lowongan”. Sebagai penutupnya kemabli aku dihadiahi senyum yang tidak kalah manisnya dari yang pertama. Entah ini suatu kebetulan atau memang sudah menjadi standar baku di setiap perusahaan. Kepada resepsionis itu ingin aku katakan “bagaimana kalau aku melamarmu untuk menjadi istriku, apa kau menolakku juga?”. Tentu saja mereka akan menolak seorang pengangguran seperti aku ini.

Aku dan anak kecil itu, masih duduk di halte bus kota yang sama.

Melihat nasib anak itu dan nasibku sendiri rasa-rasanya ada yang salah di negeri tercinta ini. Di negeri yang terkenal akan subur tanahnya dan melimpah ruah sumber daya alamnya. Aku jadi bertanya-tanya kemana perginya semua sumber daya alam itu? Melihat gedung-gedung pencakar langit yang berdiri megah di sekitarku akupun bertanya-tanya, di nama nilai-nilai suci yang terkandung di dalam dasar negara, Pancasila? Apakah keberketuhanan seseorang ditujukan hanya di tempat ibadah dan pada saat peringatan hari besar keagamaan saja? Apakah kemanusiaan yang adil dan berada hanya kalimat suci tanpa perlu bukti? Apakah persatuan, hanya persatuan yang berdasarkan kesamaan kepentingan golongan bukan kepentingan bangsa? Apakah musyawarah mufakat hanya untuk melegalkan ambisi-ambisi golongan tertentu, segelintir orang yang mempunyai kekuasaan? Apakah keadilan sosial hanya sebagai dongeng sebelum tidur? Apakah……..

Belum lama berselang ramai diberikatan seorang koruptor dijemput dari luar negeri. Dijemput! Di lain pihak, maling motor kalau lagi beruntung paling-paling masuk bui, kalau sedang bernasib sial bisa diamuk massa sampai mati. Untuk mencegah para pejabat melalukan tindak pidana korupsi, ada yang mengusulkan untuk menaikan gaji dan tunjangan. Usul yang hebat. Entah apa yang diusulkannya demi mengetahui seorang nenek tua renta dihukum karena mencuri untuk sekedar membungkam rasa lapar.


Kalau ada yang harus disalahkan maka pilihat favorit jatuh pada pemerintah. Di terminal, warung kopi, tempat diskusi dan di ruang kuliah sering terdengar-pertanyaan-pertanyaan sinis seperti, abdi negara kok minta dilayani? Bagaimana bisa becus mengurus negara kalau sering keluyuran pada jam kerja? Gaji, fasilitas, tunjangan ini dan itu apa masih kurang, kok ya masih korupsi juga?


Hai, lancang benar dirimu bung! Lalu apa yang telah kamu berikan kepada bangsa dan negaramu? Nol besar, itu kalau kau mau tahun. Apa kamu mau jadi pahlawan bagi anak kecil itu? Menyedihkan sekali. Lihatlah keadaanmu tidak lebih baik darinya. Dan kemana saja kau selama ini? Dulu ketika kamu masih bekerja, kamu terlalu sibuk mengejar ambisi-ambisi pribadimu sendiri tanpa sedikitpun pernah perduli kepada keadaan di sekelilingmu. Di saat kamu sudah tidak punya kemampuan untuk membantu sesamamu kamu seakan-akan menjelma menjadi orang suci. Buat apa kalau yang bisa kamu lakukan hanya omong besar, tidak ada gunanya sama sekali. Kalau kamu ingin tahu, ibu pertiwi sudah muak dengan manusia macam kamu, sudah cukup banyak di negeri ini. Suara-suara ini tak lain berasal dari hatiku sendiri. Sungguh pahit mengetahui itu benar. Sungguh pahit walau terpaksa aku telan.


Aku dan pengkritik yang paling pedas sekalipun, siapakah yang bisa menjamin ketika diberi suatu jabatan tidak melakukan seperti orang yang dikritiknya. Atau jangan-jangan aku ini bukan korban dari ketidakadilan, tapi seorang pemangsa yang belum dapat kesempatan.


Aku dan anak kecil itu siapakah yang lebih tahu?

Rabu, 07 Desember 2011

Segelas Kopi Penuh Ironi

Segelas kopi hitam pekat sedikit berbusa Menemaniku pagi ini Mengawali hariku yang cerah, hari yang indah Berita koran pagi belum aku baca, tergeletak di atas meja Tapi dari melihat judul-judulnya saja Aku merasa yakin betapa suram nasib bangsa ini kelak dikemudian hari Teguk kopi pertama Sejumlah politisi Senayan diperiksa KPK Teguk Kopi Kedua Prilaku amoral semakin mewabah Teguk kopi ketiga Kesenjangan sosial semakin melebar Teguk kopi keempat Demo kaum buruh menuntut keadilan Teguk kopi kelima Aku bertekad berhenti membeli koran Kopi hitam pekat telah tandas Yang tersisa hanya ampas kopi di dalam gelas Mungkin begitu juga yang tersisa bagi anak-cucu generasi bangsa Dan nanti akan dicatat dalam sejarah Generasi sekarang hanya meninggalkan timbunan berjuta-juta masalah. Jakarta, Nov. 2011 Puisi terkait Penyesala Tiada Akhir

Sabtu, 24 September 2011

Sinopsis

Novel ini mengisahkan kehidupan Elang Kelana, seorang wartawan muda surat kabar ibu kota. Di sela-selankesibukannya sebagai jurnalis, Elang merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Ia lihat orang-orang yang berada di sekelilingnya. Banyak diantara teman-teman seprofesinya yang sudah menikah. Sedang ia jangankan istri, pacar saja tidak punya. Tidak jarang Elang digugat oleh perasaan dan pikirannya sendiri, satu sisi, ia merindukan kehadiran seorang kekasih. Di sisi yang lain, ia dihantui masa lalu kisah cintanya yang kelam.
Namun siapa sangka, tanpa sepengetahuan Elang ada seorang wanita yang mencintainya dengan segenap jiwa dan raga. Wanita itu adalah Naya. Pada Elang, Naya telah jatuh cinta. Jatuh cinta pada pandangan pertama sejak mereka bertemu untuk pertama kali di bangku kuliah. Sejak itu, selama bertahun-tahun, dengan sabar Naya menunggu, menunggu suatu hari dimana cintanya pada Elang akan berbalas.
Ketika Elang sadar bahwa dirinya telah menyia-nyiakan cinta Naya, cinta sejati yang selama ini ia cari-cari, pada saat itu Naya dalam keadaan kritis di rumah sakit.
Kisah cinta antara Ealang dan Naya dpenuhi drama, petentangan batin, romantisme, dengan akhir cerita yang tidak diduga-duga. Penuh kejutan dan menguras air mata.

Jumat, 23 September 2011

Sajak Buat Sahabat

Bung! Ayo Bung!
Bacakan sajakmu yang penuh api semangat
Tentang serdadu di medan perang
Tentang kesaktria di medan laga
Tentang kau punya cita-cita

Semangat, bung! Semangat!
Kayu terus bidukmu menuju samudera
Taklukan gelombang ombak lautan
Buat sang angin bersimpuh di bawah telapak kakimu
Mari kita buktikan....
Dari apa kita diciptakan
Untuk apa kita dilahirkan
Sebagai pecundang atau PEMENANG

jakarta. 23 sep. 2011. 00:19

Rabu, 03 Agustus 2011

Penyesalan Tiada Akhir

Wanita berkerudung di mega langit senja
Kupanggil, ia tidak bergeming, tak juga berpaling
Ingin kugapai, ingin kurengkuh
Semakin kukejar semakin ia menjauh
Kucoba menghapus dari ingatan
Semakin mencoba, semakin ia menjelma jadi raksasa
Aku mulai lelah
Kubacakan puisi untuk menghibur diri sendiri
Yang keluar dari mulutku bukan kata tapi erang kesakitan
Aku runtuh dan terjatuh
Wahai wanita berkerudung di mega langit senja
Andai kesempatan berkali-kali datang dan bisa diraih
Andai roda sang waktu bisa diputar berbalik arah
Andai kita bisa mengubah alur sejarah
Pasti kini kita tidak akan terluka
Tapi kini yang tersisa hanya batu nisan
Dengan namaku bersimbah air matamu
Dengan nisanmu di samping kuburku

Rabu, 22 Juni 2011

Menanti Dalam Pencarian

Aku yang berada di tengah malam buta
Aku yang terperangkap dalam kerinduan
Kala sunyi menikam
Kala sepi menghujam
Memanggil-manggil aku pada ia yang entah siapa
Dia yang tercipta untuk menemani hidupku

Wahai sepihan tulang yang tercerabut dari rusuk yang aku punya
Di belahan bumi manakah engkau terjatuh
Belumkah kamu temui
Jalan pulang ke tempat di mana sebelum engkau diciptakan
Aku di sini masih mencari jejak langkah yang engkau tinggalkan
Aku di sini masih menunggu satu hari dimana kita akan pertemukan
Jakarta 20 juni 2011

Senin, 20 Juni 2011

TANGIS JAKARTA

Kelahiranku meminta tumbal ribuan nyawa
Tanyakan pada Sultan Agung
berapa banyak laskarnya bergelimpangan
Jadi jangan kau minta belas kasihku
Karena aku bukan gadis lugu kembang desa
Yang bisa ditaklukan hanya dengan bujuk rayu dan puji-pujian
Cukup banyak yang telah mati dalam pelukanku
Tanyakan pada Arif Rahman Hakim, Elang Maulana dan kawan-kawan mereka
Sehangat apa pelukanku?
Jadi jangan katakan demi cinta
Sebesar apa cintamu padaku dibandingkan mereka?
Aku Jakarta
Tubuhku terlalu rapuh memikul harapan-harapan semua kekasih yang tak kuundang
Jadi salahkah aku bila hanya memilih para pemenang

Kamis, 31 Maret 2011

AKU SANG PELACUR

(“Tarif berdasarkan negosiasi. Kalau berminat silahkan datang ketempat biasa aku mangkal”)

Katanya, ini baru katanya. Orang yang terlalu lama hidup jadi pengangguran bisa terkena penyakit syaraf alias gila. Percaya tidak percaya, tapi kalau membayangkan akal sehat minggat dari batok kepalaku merinding hati ini dibuatnya. Sumpah demi Tuhan menjadi orang gila bukan impianku. Jadi, sebelum aku kehilangan kewarasanku, sebelum aku keluyuran tanpa memakai baju dan celana, sebelum anak-anak kecil meneriakiku dari belakang, sebelum semua itu terjadi aku putuskan untuk melacurkan diri. Kuucapkan selamat tinggal pada sederet profesi gagah perwira yang pernah aku impikan saat baru diwisuda. Kupadam-padamkan ambisiku untuk menjadi PNS, eksekutif muda atau pengusaha. Motto yang aku anut sekarang kerja apa saja yang penting halal dan menghasilkan uang. Dan pada akhirnya disinilah keberadaanku kini, di belakang kemudi sebuah kendaraan berroda tiga yangdikenal dengan nama bajaj.

Dari mahasiswa generasi penerus bangsa, lulus kuliah ego sedikit bengkak karena telah menjadi seorang sarjanah, kemudian terjun bebas menjadi pengangguran dan sekarang aku merangkak menjadi supir babaj. Begitulah kira-kira karir kehidupanku.

Apa hebatnya menjadi supir bajaj? Memang tidak hebat. Bukan bermaksud berargumentasi atau berapollogia, profesi apappun yang dijalani oleh seseorang tidak lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya dari profesi yang lain. Seorang presiden tidak ada artinya sama sekali tanpa adanya rakyat, demikian gambaran sederhananya. Kalau masih ada orang yang mengaku profesi yang digelutinya lebih hebat dari profesi yang lain ada baiknya disarankan untuk mengulang kembali sekolahnya mulai dari SD.

Memang benar, dari sekian macam cita-cita yang pernah disebutkan oleh para siswa di depan kelas menjadi supir bajaj tidak termasuk diantaranya. Tapi jangan dulu lantas mengira bahwa tidak ada sedikitpun kebanggaan dalam menjalani profesi yang satu ini. Paling tidak, dengan menjadi supir bajaj kami tidak dicap sebagai pengangguran. Setidak-tidaknya apa yang kami makan hasil dari keringat sendiri. Setidak-tidaknya kami merasa lebih terhormat dari mereka yang mempunyai rumah mewah, mobil mentereng, pakaian keren dan segala macam perhiasan mahal, tapi semua yang mereka miliki itu berasal dari hasil korupsi.

Perlu untuk diketahui, menjadi supir bajaj itu perbuatan mulia karena membawa misi kemanusiaan. Dengan menjadi supir bajaj seseorang bisa menolong orang lain dari beban penderitaan. Misalnya saja, ada orang yang hendak berpergian dari pasar Tanahabang menuju terminal Pulogadung. Kalau perjalanan itu ditempuh dengan berjalan kaki bisa dibayangkan betapa menderitanya orang tersebut. Badan capek, nyeri otot, pegel linu dan panasnya sengatan matahari sudah pasti dirasakan. Itu belum menghitung berapa banyak waktu yang dihabiskan. Disinilah misi kemanusiaan supir bajaj berperan. Dengan adanya bajaj dan supir bajaj tak usalah semua penderitaan itu dirasakan, tinggal naik bajaj, duduk tenang di dalamnya, nikmati perjalanan dan suasana kota. Bisa juga sambil memperbarui status di Face Book. Beritahukan saja pada teman-teman sekarang sedang berada di dalam mobil Limosin bersama presiden Obama, jalan-jalan keliling Jakarta.

Jangan mempermasalahkan biaya transfortasi yang harus dibayar. Apalah artinya sejumlah uang jika dibandingkan dengan kesehatan diri dan efesiensi. Kalau ada yang mau naik bajaj gratis harap sabar menanti sampai bensin bisa didapat tanpa harus membeli, onderdil bajaj bisa diperoleh dengan cuma-cuma, pemerintah tidak menetapkan pajak kendaraan, tidak ada pungli ini dan itu, kalau semua itu terlaksana bolehlah naik bajaj digratiskan.

Diakui atau tidak, bajaj sudah menjadi ikon kota Jakarta. Silakan cari dari Sabang sampai Merauke, di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini dimana yang ada bajajnya? Ya hanya di Jakarta! Boleh percaya boleh tidak. Cukup banyak wisatawan yang datang dari luar Jakarta atau dari mancanegara berfoto dan bergaya di depan bajaj. Makanya sungguh sangat disayangkan dan patut dikasihani kalau ada orang yang sudah lama tinggal di Jakarta tapi sekalipun belum pernah naik bajaj. Kemana saja selama ini? Kasihan sekali.

Pernah ada yang bilang, dengan nada menyalahkan, bahwa supir bajaj adalah orang yang paling sering melanggar peraturan lalu-lintas. Orang yang bilang semacam itu sungguh sangat patut dicurigai mempunyai itikad buruk pada pemerintah. Faktanya supir bajaj adalah warga Negara yang sangat patuh pada pemimpinnya. Apapun yang dicontohkan oleh pimpinan pasti diteladani. Bicara tentang peraturan, kami tahu ada peraturan. Masalahnya kami tidak terlalu paham untuk apa peraturan itu dibuat. Untuk mengetahuinya kami tinggal menengada ke atas, mencontoh pada pejabat Negara. Disana kami saksikan banyak abdi Negara yang melanggar peraturan. Kesimpulan yang kami dapat, peraturan dibuat untuk dilanggar.

Masa menteladani pimpinan dianggap salah? Yang benar saja!

Yang paling mengherankan dan tidak masuk akal. Pernah terdengar ada orang yang mengusulkan supaya bajaj dimusnahkan saja dari bumi Ibu Pertiwi. Siapapun yang mempunyai usul ngawur amburadul itu dimohon dengan sangat hormat untuk duduk sejenak, lakukanlah meditasi atau gerakan Yoga. Jangan lupa setel music klasik simfonie 13 dari Mozart. Setelah itu berpikirlah dengan hati dingin dan pikiran jernih. Coba tanyakan pada diri sendiri; kalau bajaj dihapus pekerjaan apakah yang tersedia bagi supir bajaj untuk beralih profesi? Kalau belum ada, sanggupkah untuk mengadakannya? Kalau belum terpikirkan sampai kearah itu, coba tanyakan; kalau bajaj dihapus dan belum ada profesi lain bagi supir bajaj beralih profesi, lalu dari mana mereka memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka? Kalau semua pertanyaan diatas belum terjawab dan solusi belum ditemukan, dari pada repot-repot menghapus bajaj, lebih baik kumpulkan para supir bajaj bersama keluarganya di sebuah tanah lapang. Kemudian bom tanpa ampun. Membunuh secara cepat rasa-rasanya lebih manusiawi dari pada membunuh secara perlahan.

***

“Bang! Bengong aja lu” tiba-tiba sebuah suara membuyarkan lamunanku. Seorang wanita muda telah berdiri di dekatku. Wajahnya cantik, bodynya lamlohai aduhai dan kulitnya kuning langsat memikat. Bening sinar matanya memancarkan sinyal mengundang dan dari bibir mungil merah muda merekah seuntai senyum manis, semanis kembang gula. Bahtera hatiku bergoncang dibuatnya.

“Ah, mbak, bikin saya kaget saja. Bajaj mbak?” tanyaku tak lupa memasang senyum manis ala kaum kapitalis.
“saya juga sudah tahu itu bajaj, bang”.
“Maksud saya, mbak mau naik bajaj”.
“Mau sih mau, bang. Tapi bayar?”.
“Ya bayarlah mbak”. Jawabku sambil di dalam hati meneruskan, tapi kalu mbak mau jadi isteriku bolehlah tidak bayar.
“Saya kira gratis…”
“Gratis dari Hongkong” balasku agak keki.
“Oh..kalau naik dari Hongkong gratis ya bang. Kalau begitu saya naik dari Hongkong saja, biar gratis. Tapi ngomong-ngomong di Hongkong ada bajaj, bang?”.

Aku melongo.
Si nona cantik cekikikan menahan tawa.
Sebagai penutup dari kisah ini perlu juga dicatat, untuk menjadi supir bajaj seseorang harus berjiwa besar dan berhati sabar. Karena tidak jarang harus berhadapan dengan calon penumpang yang sangat menyebalkan.
Jakarta, 7-2-11
Pukul: 01,32 menit

Jumat, 28 Januari 2011

ISTANA HATI

Maukah kamu menunjukan jalan kepadaku
Jalan menuju istana hatimu
Kalau aku telah sampai di sana, maukah kamu membukakan pintunya untukku
Jangan terburu-buru karena aku mau menunggu
Kalau masih ada ruang kosong, sebuah kamar atau tak apalah kalau yang tersisa hanya cela di ruang tamu
Izinkan aku untuk singgah, menginap atau tinggal untuk selamanya
Dan jika kamu mencari dirimu dalam diriku
selamilah bening danau mataku
Ikuti arus sungai darahku
Jangan berhenti sampai kau bertemu istana bernama hati
Bukalah pintunya maka disana akan kamu temui dirimu bertahta