Berjejer buku di meja belajar, seumpama seorang gadis mereka tersenyum
manis menggodaku “Mari” katanya. “Jamalah kami”. Tapi sayang aku tidak sedang
berhasrat, jadi kuabaikan mereka.
“Kenapa kamu begitu dingin Jon?” Tanya Romeo end Julietnya Willam
Shakespeare. “Tidakkah kamu ingin tau, dimana pada akhirnya Romeo dan Juliet
berpelukan, dikubur atau di ranjang?”.
“Jangan hiraukan dia Jon
”Sela Apollogia-nya Plato. “Mari ada Tragedi disini”.
Suara-suara itu terus saja memanggil-manggil, merayu, mengiba layaknya
seorang gadis yang sedang dimabuk cinta. Sedang aku masih seperti tadi
mengacuhkan saja.
“Malam ini” kataku dalam hati. “aku sedang tidak ingin membaca, aku ingin
menulis” Kunyalahkan perangkat komputerku, kubuka program word, setelah jendela
program itu terbuka dan kedip-kedip kursor nampak dilayarnya kuletakan
jari-jemariku diatas keybord, siap membuat kata pembuka.
“Tapi apa yang ingin aku tulis?” Tanyaku kepada diriku sendiri “Cerita
Cinta”. Gumamku pelan. Mendengar itu Romeo end Juliet tersenyum manis padaku
“Ayo Jon, jangan ragu, nikmatilah kisahku”.
‘Tidak kamu salah paham. Malam ini aku sedang tidak ingin membaca”
Mendengar kata-kata terakhirku Romeo end Juliet tampak murung, tidak kutemukan
lagi senyum manisnya.
“Kamu jahat Jon” Erangya penuh kesedihan, andai ia seorang gadis tentu ia
akan menangis. Tapi tidak, dia hanya sebuah buku.
Teng! Suara jam dinding memanggil, jarum pendeknya menunjuk angka satu.
“Apa yang sedang kamu tunggu Jon? Tidaklah kamu merasa kasihan kepada monitor
yang menantimu? Bahkan satu huruf pun belum kamu tulis.”
“Diam kalian!” Bentakku. Tiba-tiba aku tersentak, tersadar akan apa yang
aku lakukan. Apa aku sudah gila? Kenapa aku bicara pada mereka?
Kedip-kedip kursor masih setia menanti, kukumpulkan semua ide di kepala,
mencoba konsentrasi, tapi lagi-lagi, aku belum membuat kata pembuka, bahkan,
seperti kata jam dingding tadi, satu huruf pun belum aku tulis disana.
Sudah dua hari ini aku susah tidur, selalu saja masih terjaga hingga
tengah malam buta. Di kelaspun aku tidak bisa konsentrasi pada mata kuliah yang
aku ikuti. Semua itu gara-gara perempuan bermata biru. Terbayang-bayang olehku
kali pertama aku brtemu dengannya. Waktu itu aku diperpustakaan kampus, sedang
terbenam dalam alur cerita novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman.
”Aku Dina Eliana” katanya sambil mengulurkan tangan memperkenalkan diri
“cukup panggil aku Dina atau Ana saja”
Aku sambut tangannya “Joni” balasku.
“Boleh aku duduk disini Jon?” Tanya Dina sambil mengambil duduk di
depanku, senyum manisnya tersungging, merekah.
“Boleh, silahkan, tapi maaf ya, kalau kamu aku cuekin, aku sedang
membaca”. “Tak apa Jon, itu bagiku sudah lebih dari cukup”
Kembali kubenamkan kepalaku, konsentrasi pada kisah Fahri yang menjadi
tokoh utama dalam Novel yang ada di tanganku.
“Kalau sedang serius kamu tampan juga Jon” Deg! Aku tersentak, seakan ada
palu besar yang menghantam jantungku. Sungguh aku tidak menyangkah Dina akan
memujiku dengan terus terang. Terbuka sekali dia, bahkan terkesan provokatif, terlalu
berani untuk ukuran orang-orang Indonesia yang suka basa-basi. Kudongkakkan
kepalaku.
“Kamu bilang apa tadi?” aku takut
aku salah dengar.
“Kamu tampan, Jon”.
“Ha…ha…ha….” Kupaksakan untuk tertawa. Jujur saja aku grogi di buatnya.
“Rupanya kamu suka bercanda ya?”
“Tidak, aku serius Jon, aku benar-benar serius menggodamu”.
Jeder! Kini giliran halilintar yang menyambar jantungku. Mataku melotot,
tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Seumur hidupku baru kali ini
aku alami. Ada perempuan yang begitu berani mengungkapkan perasaan sukanya
kepadaku, lebih-lebih yang mengungkapkan itu Dina, gadis cantik nan menawan,
orang yang baru saja aku kenal.
“Kamu orangnya benar-benar terbuka ya ?” Kupaksakan untuk tersenyum
“Bahkan kepada orang yang baru kamu kenal” Imbuhku.
“Tidak Jon, hanya kepadamu saja aku begitu”.
“Hanya kepadamu saja aku begini” Aku mengulang kata-katanya di dalam
hati. Dia bicara begitu seolah-olah telah lama mengenalku.
“Aku takut ada orang lain yang mendahuluiku” Sejurus matanya menatapku
ada pancaran aneh di bola matanya, pancaran yang aku tak tau apa artinya. “Atau
aku memang sudah terlambat Jon?”
Dahiku berkerut tak mengerti arti perkataannya
“Ah tentu saja aku sudah terlambat, maafkan aku ya, sampaikan juga kata
maafku kepada kekasihmu. Aku begini karena aku sangat mencintaimu. oh tidak,
tidak seharusnya itu aku katakan, sekali lagi maafkan aku Jon”.
“Cukup !” Benakku tak sadar, hingga menarik perhatian seisi ruangan.
Terlebih Ibu Cocok si penjaga perpustakaan, dengan masam dia menunjuk
peringatan yang di tempel di dinding “Jangan berisik!”.
“Mungkin ada yang salah di antara kita” kuturunkan nada suaraku.
“Tidak Jon”.
“Diam, biar aku lanjutkan, mungkin sekarang aku sedang bermimpi. Dan ini
salah satu mimpi burukku, aku berharap aku cepat-cepat terbangun dari tidurku
ini”.
“Tidak Jon, kita tidak sedang bermimpi”.
“Oke, aku tidak sedang bermimpi, mungkin aku sekarang sedang
berhalusinasi, berkhayal atau mungkin aku salah minum obat tadi malam. Tapi
yang pasti, tidak seharusnya aku bertemu denganmu hari ini. Jadi cukup kita
sampai disini saja” Aku bangkit dari dudukku bergegas meninggalkan Dina.
“Wanita Aneh” gumanku .
ups! Aku tersadar dari lamunanku. Lagi-lagi perkenalanku dengan Dina
terbayang dibenakku. Sampai sekarang aku tak tahu kenapa aku jadi sering
memikirkan Dina. Apa itu karena aku terpesona akan kecantikannya? Atau itu
karena keberaniannya mengungkapkan perasaannya kepadaku? Atau mungkin Karena
kedua-duanya.
Kalau hanya melihat kesempurnaan
fisik, aku bisa saja membuat seribu satu macam alasan untuk mencintai Dina.
Wajar saja aku bilang begitu, karena aku yakin lelaki manapun yang ada di dunia
ini yang waras akal pikiranya atau tidak ada kerusakan di alat penglihatannya,
aku jamin akan tertarik dengan Dina, bisa jadi langsung jatuh cinta. Rambutnya
hitam lurus sebahu, hidungnya mancung, bibirnya yang seksi, wajahnya ayu,
kulitnya yang putih, dan mata birunya itu, sungguh sangat-sangat menawanku.
Akan tetapi keberanian Dina dalam mengungkapkan perasaannya justeru
membuat aku curiga, bisa jadi aku merasa takut, karena sangat jarang orang
seperti dia sangat mudah didapatkan, apalagi terkesan murahan seperti Dina, ah,
kenapa aku jadi berpikiran macam-macam. D-I-N-A-E-L-I-A-N-A. Tanpa sadar
kuketik namanya dilayar komputer.
“Jon, lagi ngapain sih?” Tahu-tahu Ucok sudah berdiri di belakangku,
membuyarkan lamunanku. “Itu siapa Jon?”
“Apa?”
“Itu” Tangan Ucok menunjuk ke arah monitor.
“Bukan siapa-siapa. Tadi aku sedang menulis cerpen tapi sayang baru nama
tokohnya saja yang aku tulis”.
“Jangan bohong kau”. Pasti kamu tadi sedang memikirkan perempuan yang
bernama Dina, iya kan? ngaku sajalah kau”
“Tidak, buat apa aku berbohong”
“Itu buktinya” sekali lagi Ucok menunjuk kearah monitor
“Apa artinya sebuah nama” kukutip
kata-kata bijak William Shakespeare.
“Apa kalau yang aku ketik itu Joko terus kamu anggap aku ini Homo,
begitu?”
“Itu lain soal Jon”
“lain bagaimana?”
“Kalau kamu benar-benar tidak sedang memikirkan Dina, kenapa kamu sampai
tidak sadar kalau aku sudah berdiri di belakangmu dari tadi”
“Itu karena aku sedang konsentrasi pada cerpen yang akan aku tulis”.
“Oya, konsentrasi ya, pintar kali kau mengelak”
“Oya pintar kali kau menuduh ya”
ledekku memakai logat Medannya.
“Masih juga kau mengelak, biar nanti ku adukan kau sama Nafsah, tau rasa
kau nanti”
“Hai Ucok, suka kali kau buat isu. Apa kata dunia nanti kalau Naga
Bonarnya sekarang jadi penggosip, ha!”.
Tidak ada balasan, hanya senyum Ucok menyeringai penuh arti
****
“Ini Jon, ada titipan
buatmu” Anton menyerahkan sepucuk surat kepadaku, surat bersampul biru.
“ Dari siapa Ton?”
“Dari Dina katanya, tadi aku bertemu di gedung serba guna”. Lagi-lagi
Dina benar-benar nekad perempuan yang satu ini. Apasih yang dia inginkan
dariku? Dia sendiri sebenarnya siapa? Lama-kelamaan bikin keki juga nih anak,
baru kenalan tapi kelakuannya sudah merepotkan, menambah beban pikiranku saja.
Gerutuku dalam hati.
“Dari Dina ya Ton?” Tanya Ucok, dijawab Anton dengan anggukan kepala.
“Berarti hebat juga kawan kita ini Ton”
“Hebat apanya, kalau sekedar dapat surat dari perempuan apa hebatnya.
Kalau boleh aku sombong sudah berapa kali aku dikirimi surat, apalagi yang
namanya ditembak perempuan duluan, tidak terhitung Cok,”.
“Bukan begitu maksudku. Maksudku kawan kita ini, si Joni, dia bukan hanya
pintar bikin cerpen, tapi dia juga bisa menghidupkan tokoh dalam cerpennya di
kehidupan nyata”
“Yang benar Cok?”
“Makanya kalau kau tidur jangan mirip kerbaulah. Asal kau tau, kamaren
malam dia ngomong sedang bikin cerpen tentang seorang yang bernama Dina. E, hari
ini , si Dina kirim surat sama Joni, apa tidak hebat namanya”.
“Benar Jon?”
“Jangan dengarkan bualan si Naga Bonar Penggosip itu”
“Sudah kau bacalah dulu Jon, barang kali si Dina mau pasangan dalam
cerpen itu kau Jon” Ledek Ucok.
Kubuka sampul surat dari Dina, kubaca barisan kalimat yang tertulis
didalamnya.
“Diakah orang yang telah
mendahuluiku, diakah yang telah mencuri hatimu Jon? Iya tentu saja Nafsah. Tadi
di kantin tidak sengaja aku dengar obrolan Nafsah dengan kawan-kawannya. Dari
situ aku tau kalau Nafsah itu kekasihmu. Kalian memang pasangan yang serasih.
Aku tidak keberatan kok bersaing dengan Nafsah. Nafsah memang pantas menjadi
sainganku”
Ttd
Dina Eliana
Hanya itu yang Dina tulis.
Entah apa yang harus aku lakukan, haruskah aku berterima kasih kepada Dina,
karena ia mencintaiku, ataukah aku harus membencinya, karena ia sama sekali
tidak peduli akan hubungan yang telah aku jalin dengan Nafsah. Mungkin akan
lain ceritanya kalau aku masih sendiri ketika Dina mengungkapkan rasa cintanya
kepadaku. Tapi sekarang sudah ada Nafsah disisiku. Apa dia pikir aku harus
menyingkirkan Nafsah dari hatiku, enak saja, tidak semudah itu.
“O..o.., kamu ketahuan
pacaran lagi dengan dirinya “Terdengar suara Anton mendendangkan lagu milik
group band Mata.
“Tutup mulutmu Ton. Jangan
biarkan si Bau Naga penggosip itu merusak otakmu”.
“Lagi-lagi Ton, kau nyanyikan
lagi lagu itu” si Ucok menyemangati Anton.
“O…o… Joni ketahuan pacaran
lagi dengan dirinya namanya Dina” kembali Anton berdendang, sekarang dengan
Ucok yang menjadi beking vokal.
“Sial ”Aku memaki dalam hati
“Dasar bajingan kalian”
****
Jarum
jam ditanganku menunjukan angka 7: 25 menit masih ada 5 menit lagi sebelum mata
kuliah dimulai. Kupercepat langkahku menuju kelas. Kelasku berada di Lantai 2
Gedung Fakultas Hukum, letaknya tidak jauh dari gerbang utama pintu masuk
kampus. Dari depan gedung itu aku cukup naik tangga sekali, belok kiri, setelah
melewati kelas AI sebelum kelas AIII disitulah kelasku, kelas AII Fakultas
Hukum.
Baru
saja aku menginjakkan kaki di lantai 2, ketika aku lihat dari depan kelas Anwar
menunjuk kearahku “Itu dia datang” katanya kepada lelaki setengah baya
disampingnya. Aku dekati mereka.
‘Om ini tadi mencarimu Jon” Anwar memberi tahu.
“Pagi Om” Sapa ku kepada lelaki yang dimaksud.
“Pagi”.
Balas lelaki itu “perkenankan nama saya Sanusi” diulurkan tangan kanannya
kepadaku.
“Saya
Joni, Om”. Kusambut tangannya, juga mengenalkan diri. Aku amati Om Sanusi. Aku taksir umurnya kira-kira 45
tahunan, penampilannya rapi dengan kemeja coklat muda yang dibalut dengan jas
berwarna sama, serta sebuah dasi bergelantung dilehernya. Tapi sayang
penampilan fisiknya tidak sesuai dengan keadaaan yang tampak tidak bahagia. Ada
kecemasan di raut wajahnya, ada kesedihan yang terpancar dari matanya
“
Karena sudah ketemu, saya tinggal ya Om” kata Anwar mohon diri kepada Om
Sanusi.
“
Terima kasih ya Dik”
“
Sama-sama Om” balas Anwar, lalu ia pun
masuk kelas
“Apa
sekarang kamu ada waktu luang Jon?
“Sebenarnya
aku ada kuliah Om, kalau boleh tau kira-kira ada keperluan apa ya,
sampai-sampai Om mencariku?”
“Ini
tentang Dina, kamu kenal Dina kan?”
“Iya
saya kenal” Tentu saja saya kenal, dengan orang yang telah mengganggu
konsentrasiku akhir-akhir ini. Ada hubungan apa Om Sanusi dengan Dina ? Tanyaku
dalam hati
“Saya
ayahnya Dina, Jon” Aku Om Sanusi seakan mendengar isi hatiku. Pengakuan itu
sudah cukup membuat aku jadi tegang. Apa yang telah dikatakan Dina kepada orang
tuanya? Jangan-jangan sekarang aku akan dimintai pertanggung jawaban karena
disangka telah menghamili Dina. Wajar saja aku sampai berpikiran begitu
mengingat begitu ngototnya Dina mengejarku. Rupanya aku telah dijebak, kalau
saja aku tahu akan seperti ini jadinya tak sudi aku kenalan sama Dina, Sial !
Aku benar-benar sial.
“Emh….
Aku tarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri aku pun berusaha setenang
mungkin saat bertanya kepada Om Sanusi.
“Ada
kabar apa dari Dina, Om?’
“Sekarang
Dina sedang dirawat di Rumah Sakit”
Benar
dugaanku, aku nembatin rupanya Dina akan melahirkan, tapi tidak, tidak secepat
itu. Terakhir kali aku lihat perut Dina belum membesar atau jangan-jangan Dina
keguguran? Ya pasti, pasti Dina keguguran. Terkutuklah Dina kalau sampai itu
karena perbuatanku
“Sekarang
Dina koma, Jon” Imbuh Om Sanusi. Jelas
saja aku makin panik. Jadi sekarang Dina sedang koma setelah mengalami
pendarahan akibat keguguran. Akhirnya dengan tidak sabar aku ungkapkan
kegelisahan yang berkecamuk dalam hati.
“Jadi
sekarang Dina sedang koma akibat mengalami pendarahan karena keguguran. Dan om
Sanusi mencariku untuk meminta pertanggung jawabanku, bila Om pikir akulah yang
telah menghamili Dina, aku tegaskan Om salah alamat.
“Kamu
salah sangka Jon, Dina koma bukan karena itu tapi karena penyakit yang di
deritanya”
“Penyakit?
Dina sakit apa Om?”
“Kangker
otak”
“
Ya Tuhan…….”
Om
Sanusi menatapku penuh harap dan dengan iba memohon kepadaku “Tolong Jon, temui
Dina, buat ia bahagia untuk yang terakhir kalinya” aku lihat matanya basah.
*****
Setelah
memarkirkan mobil aku dan Om Sanusi bergegas menelusuri koridor rumah sakit
Cipto Mangunkusumo, di depan ruang VIP kedatangan kami disambut isak tangis
seorang perempuan yang tidak lain Ibu Dina.
“Dina,
pa ” ratap ibu dina pada suaminya.
“Ada
apa dengan Dina, bu?”
“Dina…”
perempuan itu tidak kuasa meneruskan kalimatnya. Dipeluknya sang suami dan
tumpahlah air mata itu di dada suaminya. Pada saat Om Sanusi mencoba
menenangkan istrinya pintu kamar dimana kami berdiri terbuka dan seorang Dokter
ditemani perawat keluar dari kamar itu.
“
Relakan kepergiannya pak, bu. Kami sebagai dokter hanya bisa berusaha tapi
rupanya Tuhan berkehendak lain” Hibur sang Dokter yang memakai seragam putih
sedang di dadanya tersemat pin yang bertuliskan Dokter Adi.
Aku
mengerti apa arti dari kata-kata itu. Sungguh aku tidak menyangka begitu cepat
Dina singgah di dalam kehidupanku, kemudian ada penyesalan yang menghinggapi
kalbuku. Rasa berdosa, juga rasa bersalah kenapa aku terlalu mengacuhkan Dina
padahal Dina begitu mencintaiku.
“Silakan”.
Dokter Adi mempersilahkan kami masuk ke kamar. Di dalam kamar aku melihat Dina
terbaring tenang, ada senyum manis kegambar dibibirnya, senyum termanis yang
belum aku temui sebelumnya. Senyum seseorang yang begitu bahagia.
Sebuah
sentuhan aku rasakan di pundakku “ kamukah yang bernama Joni?’. Tanya ibu Dina
masih dalam isak tangisnya.
“Iya
Tante, maafkan saya tan, saya……” tak sanggup lagi aku teruskan kalimat ku, ada
rasa bersalah dihatiku, andai saja aku tau lebih awal. Tak sanggup begitu saja
aku mengabaikan Dina.
“Dina
sering memanggilmu Jon, dia terus saja menyebut-nyebut namamu”
kutelan
ludahku, kerongkonganku terasa kering
“Ini,
ada surat untukmu, Jon. Ia sempat menulisnya sebelum ia jatuh koma”. Ibu Dina
memberikan surat bersampul jingga kepadaku, dengan tangan bergetar kuterima
surat itu dan akupun membaca.
“Ku
tulis surat ini untuk mu, Jon. Engkau yang aku puja saat mentari terbit, saat
tenggelam, bahkan saat malam datang.tahukah kamu jon, aku langsung jatuh cinta
padamu pada pandangan pertama Waktu itu kamu sedang berorasi di depan gedung
MPR. Saat kita demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang menaikkan harga
BBM ku dengar katamu begitu bersemangat,
tegas dan berani. Kata-katamu bagaikan mantra yang sanggup menggetarkan hatiku.
Mungkin kamu tidak tau diantara sekian banyak mahasiswa, ada seorang gadis yang
begitu terpesona oleh uraian yang kamu berikan, gadis itu adalah aku.
Detik demi detik, detik
berganti jam, jam berganti hari, haripun silih berganti, datang dan pergi. Dan
perasaan cintaku padamu semakin bertambah. Tapi Jon, apa yang bisa aku lakukan,
sebagai perempuan tak mungkin aku mengungkapkan perasaanku. Akupun di paksa
untuk puas hanya sebatas mengagum mu saja, melihat dari kejauhan, memujamu
diam-diam, padahal kita satu kampus Jon, padahal jarak kita teramat dekat, tapi
bagiku kamu terasa begitu jauh.
Aku masih terus
menikmati kebahagiaan dalam hidupku, sampai pada akhirnya aku ditikan perasaan
takut yang amat sangat ketika tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan kedua
orangtuaku tentang penyakit yang aku derita, baru aku ketahui bahwa dokter
telah memvonis umurku tinggal beberapa hari lagi. Pantas saja ibuku begitu
ngotot menyuruh aku berhenti kuliah setelah aku sembuh dari sakit. Memang aku
pernah di rawat di rumah sakit? Beberapa hari setelah aku pingsan sehabis
pulang kuliah. Waktu itu aku tidak menyangka kalau kangker ganas telah
menyerang otak di kepalaku
Semenjak mengetahui
kenyataan itu aku bertekad untuk membahagiakan diri di sisa umurku, aku
bertekad mencapai cintaku, cintaku padamu, semenjak itu juga aku tidak lagi
bersikap pasif menunggu hingga kamu melihatku., mengagumiku, menyatakan cintamu
padaku. Maka mulailah aku mendekatimu. Mengajak kamu kenalan dan menggodamu.
Sampai mengungkapkan perasaan cintaku padamu.
Kamu pasti heran melihat
aku begitu agresif, mungkin juga kamu membenciku karena mengejar-ngejarmu.
Sempat juga terlintas dalam benakku untuk menyampaikan alasanku yang begitu
ngotot ingin mendapatkanmu. Tapi niat itu aku urungkan, karena aku tak mau kamu
mencintaiku semata-mata karena rasa belas kasihan.
Aku egois ya Jon? Aku
hanya mementingkan kebahagianku sendiri tanpa mau memikirkan kebahagianmu. Tapi
Jon, salahkah aku menginginkan kebahagiaan dari orang yang aku cintai? Salahkah
aku bila ingin merasakan kebahagiaan disisa hidupku?
Akh, aku benar-benar egois ya Jon? Karena itu maafkan aku Jon. Sekali
lagi maafkan aku. Sekarang aku sadar bahwa cinta dan kebahagiaan tidak mungkin
lahir dari paksaan. Dan tidak sepatutnya sisa umurku aku gunakan untuk
menyakitimu juga merusak hubunganmu dengan Nafsah. Sampaikan juga kata maafku
pada Nafsah ya Jon, karena aku telah menggoda kekasihnya, kalian memang
pasangan yang serasi, kudo’akan kalian bahagia. Selamat, aku ucapkan untuk
kalian”
T T D
Dina Eliana
Kututup
surat dari Dina, dadaku terasa sesak “Salahkah aku bila ingin merasakan
kebahagian di sisa hidupku?” Pertanyaan itu bagai sebilah pedang yang menusuk
jantungku.