Laman

Kamis, 19 Juli 2012

DINA ELIANA MENCARI CINTA


Berjejer buku di meja belajar, seumpama seorang gadis mereka tersenyum manis menggodaku “Mari” katanya. “Jamalah kami”. Tapi sayang aku tidak sedang berhasrat, jadi kuabaikan mereka.
“Kenapa kamu begitu dingin Jon?” Tanya Romeo end Julietnya Willam Shakespeare. “Tidakkah kamu ingin tau, dimana pada akhirnya Romeo dan Juliet berpelukan, dikubur atau di ranjang?”.
“Jangan hiraukan dia Jon ”Sela Apollogia-nya Plato. “Mari ada Tragedi disini”.
Suara-suara itu terus saja memanggil-manggil, merayu, mengiba layaknya seorang gadis yang sedang dimabuk cinta. Sedang aku masih seperti tadi mengacuhkan saja.
“Malam ini” kataku dalam hati. “aku sedang tidak ingin membaca, aku ingin menulis” Kunyalahkan perangkat komputerku, kubuka program word, setelah jendela program itu terbuka dan kedip-kedip kursor nampak dilayarnya kuletakan jari-jemariku diatas keybord, siap membuat kata pembuka.
“Tapi apa yang ingin aku tulis?” Tanyaku kepada diriku sendiri “Cerita Cinta”. Gumamku pelan. Mendengar itu Romeo end Juliet tersenyum manis padaku “Ayo Jon, jangan ragu, nikmatilah kisahku”.
‘Tidak kamu salah paham. Malam ini aku sedang tidak ingin membaca” Mendengar kata-kata terakhirku Romeo end Juliet tampak murung, tidak kutemukan lagi senyum manisnya.
“Kamu jahat Jon” Erangya penuh kesedihan, andai ia seorang gadis tentu ia akan menangis. Tapi tidak, dia hanya sebuah buku.
Teng! Suara jam dinding memanggil, jarum pendeknya menunjuk angka satu. “Apa yang sedang kamu tunggu Jon? Tidaklah kamu merasa kasihan kepada monitor yang menantimu? Bahkan satu huruf pun belum kamu tulis.”
“Diam kalian!” Bentakku. Tiba-tiba aku tersentak, tersadar akan apa yang aku lakukan. Apa aku sudah gila? Kenapa aku bicara pada mereka?
Kedip-kedip kursor masih setia menanti, kukumpulkan semua ide di kepala, mencoba konsentrasi, tapi lagi-lagi, aku belum membuat kata pembuka, bahkan, seperti kata jam dingding tadi, satu huruf pun belum aku tulis disana.
Sudah dua hari ini aku susah tidur, selalu saja masih terjaga hingga tengah malam buta. Di kelaspun aku tidak bisa konsentrasi pada mata kuliah yang aku ikuti. Semua itu gara-gara perempuan bermata biru. Terbayang-bayang olehku kali pertama aku brtemu dengannya. Waktu itu aku diperpustakaan kampus, sedang terbenam dalam alur cerita novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman.
”Aku Dina Eliana” katanya sambil mengulurkan tangan memperkenalkan diri “cukup panggil aku Dina atau Ana saja”
Aku sambut tangannya “Joni” balasku.
“Boleh aku duduk disini Jon?” Tanya Dina sambil mengambil duduk di depanku, senyum manisnya tersungging, merekah.
“Boleh, silahkan, tapi maaf ya, kalau kamu aku cuekin, aku sedang membaca”. “Tak apa Jon, itu bagiku sudah lebih dari cukup”
Kembali kubenamkan kepalaku, konsentrasi pada kisah Fahri yang menjadi tokoh utama dalam Novel yang ada di tanganku.
“Kalau sedang serius kamu tampan juga Jon” Deg! Aku tersentak, seakan ada palu besar yang menghantam jantungku. Sungguh aku tidak menyangkah Dina akan memujiku dengan terus terang. Terbuka sekali dia, bahkan terkesan provokatif, terlalu berani untuk ukuran orang-orang Indonesia yang suka basa-basi. Kudongkakkan kepalaku.
            “Kamu bilang apa tadi?” aku takut aku salah dengar.
“Kamu tampan,  Jon”.
“Ha…ha…ha….” Kupaksakan untuk tertawa. Jujur saja aku grogi di buatnya. “Rupanya kamu suka bercanda ya?”
“Tidak, aku serius Jon, aku benar-benar serius menggodamu”.
Jeder! Kini giliran halilintar yang menyambar jantungku. Mataku melotot, tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan. Seumur hidupku baru kali ini aku alami. Ada perempuan yang begitu berani mengungkapkan perasaan sukanya kepadaku, lebih-lebih yang mengungkapkan itu Dina, gadis cantik nan menawan, orang yang baru saja aku kenal.
“Kamu orangnya benar-benar terbuka ya ?” Kupaksakan untuk tersenyum “Bahkan kepada orang yang baru kamu kenal” Imbuhku.
“Tidak Jon, hanya kepadamu saja aku begitu”.
“Hanya kepadamu saja aku begini” Aku mengulang kata-katanya di dalam hati. Dia bicara begitu seolah-olah telah lama mengenalku.
“Aku takut ada orang lain yang mendahuluiku” Sejurus matanya menatapku ada pancaran aneh di bola matanya, pancaran yang aku tak tau apa artinya. “Atau aku memang sudah terlambat Jon?”
Dahiku berkerut tak mengerti arti perkataannya
“Ah tentu saja aku sudah terlambat, maafkan aku ya, sampaikan juga kata maafku kepada kekasihmu. Aku begini karena aku sangat mencintaimu. oh tidak, tidak seharusnya itu aku katakan, sekali lagi maafkan aku Jon”.
“Cukup !” Benakku tak sadar, hingga menarik perhatian seisi ruangan. Terlebih Ibu Cocok si penjaga perpustakaan, dengan masam dia menunjuk peringatan yang di tempel di dinding “Jangan berisik!”.
“Mungkin ada yang salah di antara kita” kuturunkan nada suaraku.
“Tidak Jon”.
“Diam, biar aku lanjutkan, mungkin sekarang aku sedang bermimpi. Dan ini salah satu mimpi burukku, aku berharap aku cepat-cepat terbangun dari tidurku ini”.
“Tidak Jon, kita tidak sedang bermimpi”.
“Oke, aku tidak sedang bermimpi, mungkin aku sekarang sedang berhalusinasi, berkhayal atau mungkin aku salah minum obat tadi malam. Tapi yang pasti, tidak seharusnya aku bertemu denganmu hari ini. Jadi cukup kita sampai disini saja” Aku bangkit dari dudukku bergegas meninggalkan Dina. “Wanita Aneh” gumanku .
ups! Aku tersadar dari lamunanku. Lagi-lagi perkenalanku dengan Dina terbayang dibenakku. Sampai sekarang aku tak tahu kenapa aku jadi sering memikirkan Dina. Apa itu karena aku terpesona akan kecantikannya? Atau itu karena keberaniannya mengungkapkan perasaannya kepadaku? Atau mungkin Karena kedua-duanya.
Kalau  hanya melihat kesempurnaan fisik, aku bisa saja membuat seribu satu macam alasan untuk mencintai Dina. Wajar saja aku bilang begitu, karena aku yakin lelaki manapun yang ada di dunia ini yang waras akal pikiranya atau tidak ada kerusakan di alat penglihatannya, aku jamin akan tertarik dengan Dina, bisa jadi langsung jatuh cinta. Rambutnya hitam lurus sebahu, hidungnya mancung, bibirnya yang seksi, wajahnya ayu, kulitnya yang putih, dan mata birunya itu, sungguh sangat-sangat menawanku.
Akan tetapi keberanian Dina dalam mengungkapkan perasaannya justeru membuat aku curiga, bisa jadi aku merasa takut, karena sangat jarang orang seperti dia sangat mudah didapatkan, apalagi terkesan murahan seperti Dina, ah, kenapa aku jadi berpikiran macam-macam. D-I-N-A-E-L-I-A-N-A. Tanpa sadar kuketik namanya dilayar komputer.
“Jon, lagi ngapain sih?” Tahu-tahu Ucok sudah berdiri di belakangku, membuyarkan lamunanku. “Itu siapa Jon?”
“Apa?”
“Itu” Tangan Ucok menunjuk ke arah monitor.
“Bukan siapa-siapa. Tadi aku sedang menulis cerpen tapi sayang baru nama tokohnya saja yang aku tulis”.
“Jangan bohong kau”. Pasti kamu tadi sedang memikirkan perempuan yang bernama Dina, iya kan? ngaku sajalah kau”
“Tidak, buat apa aku berbohong”
“Itu buktinya” sekali lagi Ucok menunjuk kearah monitor
“Apa artinya sebuah nama”  kukutip kata-kata bijak William Shakespeare.
“Apa kalau yang aku ketik itu Joko terus kamu anggap aku ini Homo, begitu?”
“Itu lain soal Jon”
“lain bagaimana?”
“Kalau kamu benar-benar tidak sedang memikirkan Dina, kenapa kamu sampai tidak sadar kalau aku sudah berdiri di belakangmu dari tadi”
“Itu karena aku sedang konsentrasi pada cerpen yang akan aku tulis”.
“Oya, konsentrasi ya, pintar kali kau mengelak”
“Oya  pintar kali kau menuduh ya” ledekku memakai logat Medannya.
“Masih juga kau mengelak, biar nanti ku adukan kau sama Nafsah, tau rasa kau nanti”
“Hai Ucok, suka kali kau buat isu. Apa kata dunia nanti kalau Naga Bonarnya sekarang jadi penggosip, ha!”.
Tidak ada balasan, hanya senyum Ucok menyeringai penuh arti
****
“Ini Jon, ada titipan buatmu” Anton menyerahkan sepucuk surat kepadaku, surat bersampul biru.
“ Dari siapa Ton?”
“Dari Dina katanya, tadi aku bertemu di gedung serba guna”. Lagi-lagi Dina benar-benar nekad perempuan yang satu ini. Apasih yang dia inginkan dariku? Dia sendiri sebenarnya siapa? Lama-kelamaan bikin keki juga nih anak, baru kenalan tapi kelakuannya sudah merepotkan, menambah beban pikiranku saja. Gerutuku dalam hati.
“Dari Dina ya Ton?” Tanya Ucok, dijawab Anton dengan anggukan kepala. “Berarti hebat juga kawan kita ini Ton”
“Hebat apanya, kalau sekedar dapat surat dari perempuan apa hebatnya. Kalau boleh aku sombong sudah berapa kali aku dikirimi surat, apalagi yang namanya ditembak perempuan duluan, tidak terhitung Cok,”.
“Bukan begitu maksudku. Maksudku kawan kita ini, si Joni, dia bukan hanya pintar bikin cerpen, tapi dia juga bisa menghidupkan tokoh dalam cerpennya di kehidupan nyata”
“Yang benar Cok?”
“Makanya kalau kau tidur jangan mirip kerbaulah. Asal kau tau, kamaren malam dia ngomong sedang bikin cerpen tentang seorang yang bernama Dina. E, hari ini , si Dina kirim surat sama Joni, apa tidak hebat namanya”.
“Benar Jon?”
“Jangan dengarkan bualan si Naga Bonar Penggosip itu”
“Sudah kau bacalah dulu Jon, barang kali si Dina mau pasangan dalam cerpen itu kau Jon” Ledek Ucok.
Kubuka sampul surat dari Dina, kubaca barisan kalimat yang tertulis didalamnya.

“Diakah orang yang telah mendahuluiku, diakah yang telah mencuri hatimu Jon? Iya tentu saja Nafsah. Tadi di kantin tidak sengaja aku dengar obrolan Nafsah dengan kawan-kawannya. Dari situ aku tau kalau Nafsah itu kekasihmu. Kalian memang pasangan yang serasih. Aku tidak keberatan kok bersaing dengan Nafsah. Nafsah memang pantas menjadi sainganku”
      Ttd
Dina Eliana

Hanya itu yang Dina tulis. Entah apa yang harus aku lakukan, haruskah aku berterima kasih kepada Dina, karena ia mencintaiku, ataukah aku harus membencinya, karena ia sama sekali tidak peduli akan hubungan yang telah aku jalin dengan Nafsah. Mungkin akan lain ceritanya kalau aku masih sendiri ketika Dina mengungkapkan rasa cintanya kepadaku. Tapi sekarang sudah ada Nafsah disisiku. Apa dia pikir aku harus menyingkirkan Nafsah dari hatiku, enak saja, tidak semudah itu.
“O..o.., kamu ketahuan pacaran lagi dengan dirinya “Terdengar suara Anton mendendangkan lagu milik group band Mata.
“Tutup mulutmu Ton. Jangan biarkan si Bau Naga penggosip itu merusak otakmu”.
“Lagi-lagi Ton, kau nyanyikan lagi lagu itu” si Ucok menyemangati Anton.
“O…o… Joni ketahuan pacaran lagi dengan dirinya namanya Dina” kembali Anton berdendang, sekarang dengan Ucok yang menjadi beking vokal.
“Sial ”Aku memaki dalam hati “Dasar bajingan kalian”
****
            Jarum jam ditanganku menunjukan angka 7: 25 menit masih ada 5 menit lagi sebelum mata kuliah dimulai. Kupercepat langkahku menuju kelas. Kelasku berada di Lantai 2 Gedung Fakultas Hukum, letaknya tidak jauh dari gerbang utama pintu masuk kampus. Dari depan gedung itu aku cukup naik tangga sekali, belok kiri, setelah melewati kelas AI sebelum kelas AIII disitulah kelasku, kelas AII Fakultas Hukum.
            Baru saja aku menginjakkan kaki di lantai 2, ketika aku lihat dari depan kelas Anwar menunjuk kearahku “Itu dia datang” katanya kepada lelaki setengah baya disampingnya. Aku dekati mereka.
            ‘Om  ini tadi mencarimu Jon” Anwar memberi tahu.
            “Pagi  Om” Sapa ku kepada lelaki yang dimaksud.
            “Pagi”. Balas lelaki itu “perkenankan nama saya Sanusi” diulurkan tangan kanannya kepadaku.
            “Saya Joni, Om”. Kusambut tangannya, juga mengenalkan diri. Aku amati  Om Sanusi. Aku taksir umurnya kira-kira 45 tahunan, penampilannya rapi dengan kemeja coklat muda yang dibalut dengan jas berwarna sama, serta sebuah dasi bergelantung dilehernya. Tapi sayang penampilan fisiknya tidak sesuai dengan keadaaan yang tampak tidak bahagia. Ada kecemasan di raut wajahnya, ada kesedihan yang terpancar dari matanya
            “ Karena sudah ketemu, saya tinggal ya Om” kata Anwar mohon diri kepada Om Sanusi.
            “ Terima kasih ya Dik”
            “ Sama-sama Om” balas Anwar, lalu ia pun  masuk kelas
            “Apa sekarang kamu ada waktu luang Jon?
            “Sebenarnya aku ada kuliah Om, kalau boleh tau kira-kira ada keperluan apa ya, sampai-sampai Om mencariku?”
            “Ini tentang Dina, kamu kenal Dina kan?”
            “Iya saya kenal” Tentu saja saya kenal, dengan orang yang telah mengganggu konsentrasiku akhir-akhir ini. Ada hubungan apa Om Sanusi dengan Dina ? Tanyaku dalam hati
            “Saya ayahnya Dina, Jon” Aku Om Sanusi seakan mendengar isi hatiku. Pengakuan itu sudah cukup membuat aku jadi tegang. Apa yang telah dikatakan Dina kepada orang tuanya? Jangan-jangan sekarang aku akan dimintai pertanggung jawaban karena disangka telah menghamili Dina. Wajar saja aku sampai berpikiran begitu mengingat begitu ngototnya Dina mengejarku. Rupanya aku telah dijebak, kalau saja aku tahu akan seperti ini jadinya tak sudi aku kenalan sama Dina, Sial ! Aku benar-benar sial.
            “Emh…. Aku tarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan diri aku pun berusaha setenang mungkin saat bertanya kepada Om Sanusi.
            “Ada kabar apa dari Dina, Om?’
            “Sekarang Dina sedang dirawat di Rumah Sakit”
            Benar dugaanku, aku nembatin rupanya Dina akan melahirkan, tapi tidak, tidak secepat itu. Terakhir kali aku lihat perut Dina belum membesar atau jangan-jangan Dina keguguran? Ya pasti, pasti Dina keguguran. Terkutuklah Dina kalau sampai itu karena perbuatanku
            “Sekarang Dina koma, Jon” Imbuh  Om Sanusi. Jelas saja aku makin panik. Jadi sekarang Dina sedang koma setelah mengalami pendarahan akibat keguguran. Akhirnya dengan tidak sabar aku ungkapkan kegelisahan yang berkecamuk dalam hati.
            “Jadi sekarang Dina sedang koma akibat mengalami pendarahan karena keguguran. Dan om Sanusi mencariku untuk meminta pertanggung jawabanku, bila Om pikir akulah yang telah menghamili Dina, aku tegaskan Om salah alamat.
            “Kamu salah sangka Jon, Dina koma bukan karena itu tapi karena penyakit yang di deritanya”
            “Penyakit? Dina sakit apa Om?”
            “Kangker otak”
            “ Ya Tuhan…….”
            Om Sanusi menatapku penuh harap dan dengan iba memohon kepadaku “Tolong Jon, temui Dina, buat ia bahagia untuk yang terakhir kalinya” aku lihat matanya basah.
*****

            Setelah memarkirkan mobil aku dan Om Sanusi bergegas menelusuri koridor rumah sakit Cipto Mangunkusumo, di depan ruang VIP kedatangan kami disambut isak tangis seorang perempuan yang tidak lain Ibu Dina.
            “Dina, pa ” ratap ibu dina pada suaminya.
            “Ada apa dengan Dina, bu?”
            “Dina…” perempuan itu tidak kuasa meneruskan kalimatnya. Dipeluknya sang suami dan tumpahlah air mata itu di dada suaminya. Pada saat Om Sanusi mencoba menenangkan istrinya pintu kamar dimana kami berdiri terbuka dan seorang Dokter ditemani perawat keluar dari kamar itu.
            “ Relakan kepergiannya pak, bu. Kami sebagai dokter hanya bisa berusaha tapi rupanya Tuhan berkehendak lain” Hibur sang Dokter yang memakai seragam putih sedang di dadanya tersemat pin yang bertuliskan Dokter Adi.
            Aku mengerti apa arti dari kata-kata itu. Sungguh aku tidak menyangka begitu cepat Dina singgah di dalam kehidupanku, kemudian ada penyesalan yang menghinggapi kalbuku. Rasa berdosa, juga rasa bersalah kenapa aku terlalu mengacuhkan Dina padahal Dina begitu mencintaiku.
            “Silakan”. Dokter Adi mempersilahkan kami masuk ke kamar. Di dalam kamar aku melihat Dina terbaring tenang, ada senyum manis kegambar dibibirnya, senyum termanis yang belum aku temui sebelumnya. Senyum seseorang yang begitu bahagia.
            Sebuah sentuhan aku rasakan di pundakku “ kamukah yang bernama Joni?’. Tanya ibu Dina masih dalam isak tangisnya.
            “Iya Tante, maafkan saya tan, saya……” tak sanggup lagi aku teruskan kalimat ku, ada rasa bersalah dihatiku, andai saja aku tau lebih awal. Tak sanggup begitu saja aku mengabaikan Dina.
            “Dina sering memanggilmu Jon, dia terus saja menyebut-nyebut namamu”
            kutelan ludahku, kerongkonganku terasa kering
            “Ini, ada surat untukmu, Jon. Ia sempat menulisnya sebelum ia jatuh koma”. Ibu Dina memberikan surat bersampul jingga kepadaku, dengan tangan bergetar kuterima surat itu dan akupun membaca.

            Ku tulis surat ini untuk mu, Jon. Engkau yang aku puja saat mentari terbit, saat tenggelam, bahkan saat malam datang.tahukah kamu jon, aku langsung jatuh cinta padamu pada pandangan pertama Waktu itu kamu sedang berorasi di depan gedung MPR. Saat kita demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM ku dengar katamu  begitu bersemangat, tegas dan berani. Kata-katamu bagaikan mantra yang sanggup menggetarkan hatiku. Mungkin kamu tidak tau diantara sekian banyak mahasiswa, ada seorang gadis yang begitu terpesona oleh uraian yang kamu berikan, gadis itu adalah aku.
            Detik demi detik, detik berganti jam, jam berganti hari, haripun silih berganti, datang dan pergi. Dan perasaan cintaku padamu semakin bertambah. Tapi Jon, apa yang bisa aku lakukan, sebagai perempuan tak mungkin aku mengungkapkan perasaanku. Akupun di paksa untuk puas hanya sebatas mengagum mu saja, melihat dari kejauhan, memujamu diam-diam, padahal kita satu kampus Jon, padahal jarak kita teramat dekat, tapi bagiku kamu terasa begitu jauh.
            Aku masih terus menikmati kebahagiaan dalam hidupku, sampai pada akhirnya aku ditikan perasaan takut yang amat sangat ketika tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan kedua orangtuaku tentang penyakit yang aku derita, baru aku ketahui bahwa dokter telah memvonis umurku tinggal beberapa hari lagi. Pantas saja ibuku begitu ngotot menyuruh aku berhenti kuliah setelah aku sembuh dari sakit. Memang aku pernah di rawat di rumah sakit? Beberapa hari setelah aku pingsan sehabis pulang kuliah. Waktu itu aku tidak menyangka kalau kangker ganas telah menyerang otak di kepalaku
            Semenjak mengetahui kenyataan itu aku bertekad untuk membahagiakan diri di sisa umurku, aku bertekad mencapai cintaku, cintaku padamu, semenjak itu juga aku tidak lagi bersikap pasif menunggu hingga kamu melihatku., mengagumiku, menyatakan cintamu padaku. Maka mulailah aku mendekatimu. Mengajak kamu kenalan dan menggodamu. Sampai mengungkapkan perasaan cintaku padamu.
            Kamu pasti heran melihat aku begitu agresif, mungkin juga kamu membenciku karena mengejar-ngejarmu. Sempat juga terlintas dalam benakku untuk menyampaikan alasanku yang begitu ngotot ingin mendapatkanmu. Tapi niat itu aku urungkan, karena aku tak mau kamu mencintaiku semata-mata karena rasa belas kasihan.
            Aku egois ya Jon? Aku hanya mementingkan kebahagianku sendiri tanpa mau memikirkan kebahagianmu. Tapi Jon, salahkah aku menginginkan kebahagiaan dari orang yang aku cintai? Salahkah aku bila ingin merasakan kebahagiaan disisa hidupku?
Akh, aku benar-benar egois ya Jon? Karena itu maafkan aku Jon. Sekali lagi maafkan aku. Sekarang aku sadar bahwa cinta dan kebahagiaan tidak mungkin lahir dari paksaan. Dan tidak sepatutnya sisa umurku aku gunakan untuk menyakitimu juga merusak hubunganmu dengan Nafsah. Sampaikan juga kata maafku pada Nafsah ya Jon, karena aku telah menggoda kekasihnya, kalian memang pasangan yang serasi, kudo’akan kalian bahagia. Selamat, aku ucapkan untuk kalian”
T T D
Dina Eliana

            Kututup surat dari Dina, dadaku terasa sesak “Salahkah aku bila ingin merasakan kebahagian di sisa hidupku?” Pertanyaan itu bagai sebilah pedang yang menusuk jantungku.

Rabu, 18 Juli 2012

PRASANGKA


Masih terbayang jelas dalam ingatanku. Terpatri di dalam benakku. Bagaimana dulu ayah mengamuk, memecahkan semua yang bisa dipecahkan, melempar semua yang bisa dilempar, semampu yang ia bisa. Ruang tamu tempat kami biasa bercengkerama dengan penuh suka-cita dengan gilang-gemilang diporak – porandakan oleh ayahku. Guci yang dibeli dua hari yang lalu hancur berserakan di lantai. Foto perkawinan kedua orangtuaku terdampar di bawah kolong meja bangkai dan kacanya pecah terbela. Pernak – pernik hadiah ulang tahunku pun tidak luput dari amukan ayahku, berhamburan kesegala arah. Ruang tamu keluarga kami bagai diterjang gelombang Tsunami.
Di hadapan ayah, ibuku hanya diam, ya hanya diam. Tapi kedua bola matanya merah menyala, dadanya turun – naik, nafasnya memburu, tubuhnya gemetar. Dari ekspresi wajahnya aku tahu ibu tidak sedang ketakutan. Sama seperti ayah, ibu sedang dikuasai amarah yang meluap – luap. Entah apa yang membuat ibu bisa bertahan untuk tidak melampiaskan  amarahnya.
Sementara itu aku, anak mereka yang baru berusia 11 tahun hanya bisa menyaksikan dengan ketakutan. Tubuhku gemetar, kedua tanganku memeluk erat pintu kamarku, dadaku sesak dan hatiku remuk. Sungguh aku tidak menangis hanya air mata mengalir deras dari kedua bola mataku.
Sebelum peristiwa itu terjadi, kehidupan kami cukup bahagia. ayah bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Sedang ibu, menjadi Ibu rumah tangga mengurus aku, anak satu – satunya. Secara ekonomi, gaji ayahku lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan kami. Walau tidak bisa disebut sebagai orang kaya, tidaknya kami tidak pernah merasa kekurangan. Kadang kala pada hari minggu, terutama saat ayah baru gajian, kami sekeluarga pergi jalan – jalan ke taman hiburan.
Keadaan mulai berubah ketika ayah mendapat promosi kenaikan jabatan. Mulai pada saat itu ayah jadi sering pulang malam. Biasanya pukul 5 sore ayah sudah ada di rumah. Setelah naik jabatan, ayahku baru pulang pukul  8 malam. Bahkan pernah tidak pulang sama sekali. Begitu juga sikapnya kepadaku. Sebelumnya, setelah pulang kerja, ayah menyempatkan diri untuk menanyakan bagaimana sekolahku, teman – temanku, pelajaranku atau menemaniku saat aku mengerjakan PR. Kini setelah pulang dari kantor ayah langsung mandi kemudian pergi tidur. Pendek kata aku merasa kehilangan ayahku sendiri. Ada tapi seakan tak peduli.
Sebatas itulah yang bisa aku ingat. Seingatku, setelah amuk ayah, aku tinggal hanya dengan ibuku seorang. Sampai aku tumbuh menjadi seorang gadis, tumbuh dewasa dan setelah berpacaran selama dua tahun, aku dipinang sebagai istri oleh pacarku. Bukan kebetulan kalau aku teringat pada peristiwa pertengkaran kedua orangtuaku. Karena sekarangpun aku sedang bertengkar dengan suamiku.
***
Istriku oh Istriku
Sudah tiga hari aku bertengkar dengan istriku. Masalahnya sederhana saja, setidaknya pada awalnya. Masalahnya ia terlalu perhatian kepadaku. Saking perhatiannya aku merasa ia terlalu protektif. Kalau tidak mau dibilang posesif. Pada saat aku di kantor, pada jam kerja, ia menelponku. Sesekali menurutku sih sah – sah saja sebagai bentuk perhatian. Tapi kalau terlalu sering aku menjadi merasa diawasi. Belum lagi karena itu atasanku sempat menegurku.
Seorang sahabat menasehatiku, bahwa yang dilakukan istriku adalah sebagai  bentuk cintanya kepadaku. Sebagai bukti bahwa istriku sangat mencintaiku. Seharusnya aku bersyukur. Demikian nasehat sahabatku.
Mungkin sahabatku benar. Tapi … aku jadi teringat bagaimana dulu aku pernah berdo’a kepada Allah SWT supaya aku diberi istri yang mencintaiku melebihi kecintaanya kepada semua yang ada dijagat raya. Kalau memang do’aku dikabulkan oleh Tuhan  melalui istriku. Sekarang aku berharap supaya do’aku yang terlanjur dikabulkan agar dibatalkan saja. Sekarang cinta yang aku harapakan dari istriku cukuplah cinta sebatas yang aku perlukan. Cukup sekedar memenuhi kadarku sebagai manusia biasa. Karena sekarang aku baru tahu dicintai atau mencintai seseorang dengan kadar yang tidak semestinya akan berakibat kesengsaraan. Tidak jauh beda dengan terlalu banyak minum air akan membuat perut menjadi kembung.
Oke, masalah telpon masih bisa aku maklumi. Tapi ketika ia mulai mencurigaiku, saat aku telat pulang atau terpaksa pulang malam karena harus lembur, aku tidak bisa mentolerir sikap istriku lagi. Bayangkan saja, seharian aku membanting tulang, mencari rizki untuk keluarga kami, untuk anak kami bila suatu saat nanti kami dikaruniai anak. Pulang kerja dengan tubuh letih dan urusan – urusan kantor yang berjejalan di otakku, yang aku harapkan istriku menunggu di depan pintu kemudian menyambut kedatanganku dengan senyum manis mengembang. Tapi bukan senyum yang aku dapatkan, kedatanganku disambut oleh istriku dengan muka cemberut ditekuk – tekuk. Kemudian dicecarnya aku dengan pertanyaan yang penuh dengan kecurigaan; kenapa pulang telat? Lembur? Lembur kok hampir setiap hari?
Siapa orangnya yang mau diperlakukan seperti itu? Suami mana sih yang tidak marah diperlakukan seperti itu? Istri yang seharusnya bisa menjadi tempat berbagi keluh – kesah, istri yang seharusnya menjadi tempat mencari  kedamaian. Tapi istriku malah memberi bara api neraka.
Bicara tentang cemburu, seharusnya akulah yang lebih pantas untuk cemburu. Akhir – akhir ini istriku lebih sering bersolek. Coba untuk siapa ia bersolek? Aku sendiri seharian berada di kantor. Sedikit – banyak aku jadi curiga. Jangan – jangan istriku seperti bunyi pepatah: lempar batu sembunyi tangan atau maling teriak maling. Dan ketika tadi pagi sebelum berangkat kerja aku tanyakan, ia sama sekali tidak menjawab. Dari bola matanya bisa aku lihat ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.
***
Suamiku oh Suamiku
Pernah aku dengar ada yang  bilang wanita adalah makhluk yang paling susah untuk dimengerti. Menurutku, laki – lakilah yang paling susah untuk dipahami. Bagaimana tidak, perhatian yang selama ini aku berikan dengan sepenuh hati sebagai tanda cintaku, oleh suamiku diartikan lain. Saat aku menelpon ke kantor untuk menanyakan keadaannya dan untuk mengingatkan jangan sampai telat makan siang. Aku dituduhnya protektif. Saat aku bertanya kenapa terlambat pulang, dituduhnya aku cemburu buta, berprasangka yang tidak-tidak.
Cemburu? Cemburu itu manusiawi. Siapapun yang memiliki cinta pasti punya rasa cemburu. Bukankah cemburu bukti adanya cinta. Dan istri mana sih yang tidak merasa cemburu bila suaminya sering pulang malam.
Dia sendiri cemburu padaku. Katanya, sekarang aku lebih sering bersolek. Dia pikir untuk siapa aku bersolek? Tentu saja aku bersolek untuk suamiku sendiri. Ah, bukan maksudku untuk menyalahkan ibuku atas kepergian ayahku. Boleh jadi sedikit banyak ibu berperan atas kepergian ayah. Boleh jadi ayah pergi karena ibu kurang memberi perhatian dan kurang berdandan. Cukup sering terjadi seorang suami berlabuh ke lain hati karena istrinya tidak secantik waktu mereka masih pacaran. Bukan karena sang istri cepat menua. Tapi karena sang istri mengabaikan penampilan dirinya. Dia pikir, setelah menikah tidak perlu lagi berdandan, mempercantik diri. Kalau aku, jangankan bersolek bila perlu untuk mencegah suamiku   kepincut perempuan lain, aku mau melakukan operasi plastic agar lebih menarik.
***
Istriku Oh Istriku
Pukul 9 malam aku baru bisa pulang kerja. Bergegas sepeda motor kupacu, melaju dengan kecepatan 80 km/jam. Entah kenapa hatiku gelisah. Bayangan istriku menari – nari di benakku.
Tiba – tiba dari arah samping kananku melesat sebuah cahaya. Sial!
***
Suamiku oh Suamiku
Jam dinding di ruang tamu menunjukan pukul 10. Malam semakin larut. Aku gelisah menunggu kepulangan suamiku.
Tok! Tok! Tok! Terdengar pintu rumahku diketuk. Itu pasti suamiku.
***
Istriku Oh Istriku
Aku telah sampai di rumah ketika kudapati istriku berdiri dengan tubuh gemetar. Kedua mata dan pipinya basah oleh air mata. Sedang dihadapanya berdiri dua orang polisi.
“Bapak pasti salah” kata isriku dengan suara serak.
“Tidak bu. Kami tahu dari kartu identitasnya. Kami ikut berduka – cita. Sekarang jenazah suami ibu ada di Rumah Sakit”demikian kata salah satu dari kedua polisi itu member keterangan.
Oh, sekarang aku baru ingat. Cahaya yang melesat waktu aku pulang tadi adalah cahaya dari sebuah mobil yang menyambar  tubuhku.
Air mata meleleh dari kedua mataku. Tidak, aku tidak menagisi kematianku. Aku menangis karena terharu. Bagaimana aku tidak terharu, pada saat kami sedang bertengkar, di sana, aku lihat disana, di meja ruang tamu sebuah lilin menyala diatas kue tart bersama sederet kalimat “ Selamat Ulang Tahun Perkawinan Kita  Yang Pertama”.


Jakarta, 7 Desember 2010

Rabu, 11 Juli 2012

Cinta itu Tak Terduga, Kadang Kekanak-kanakan dan Paling Tidak Rasional

Kawan, entah apa yang telah terjadi pada diriku. Yang pasti
semenjak aku melihat seorang gadis, aku dilanda kotradiksi perasaan.
Bahagia sekaligus menderita, senang sekaligus sedih, rindu sekaligus
ragu, takut sekaligus mengharap, malu tapi mau, acuh tapi menunggu.
Perasaan-perasaan itu timbul tenggelam, datang dan pergi sesuka hati,
diam-diam, mengendap-endap dalam kesunyian.
Gadis itu penghuni baru di lingkungan kostsanku. Kau tahu,
semenjak pertama kali aku melihatnya, semenjak itu aku sering terpaku menatap pintu kamarnya.
Aku berharap pintu itu terkuak dan dia muncul dengan seuntai senyum mengembang. Senyum
manis, semanis kembang gula. Aku harap senyum itu untukku. Cukup sekali saja dia tersenyum
kepadaku, cukup sekali sepanjang hidup, cukup sekali setiap hari. Biarlah tak mengapa.
Kawan, kamu boleh percaya boleh tidak sebuah pintu ternyata dapat menyiksa perasaan
seseorang sedemikian rupa. Itu terjadi padaku. Saat pintu kamarnya tidak terbuka untuk beberapa
lama, selama itu juga aku disiksa oleh kegelisahan yang tak jelas ujung-pangkalnya. Kegelisahan
itu baru mau minggat setelah pintu itu terbuka dan dia muncul dari dalam kamar. Aduh..hatiku
senang tak terbilang. Padahal aku tahu, siapapun tahu, bahkan cicak di dinding pun tahu dia
keluar dari dalam kamar dalam rangka mengangkat jemuran karena hari turun hujan. Sama sekali
tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku.
Soal pintu tadi, kamu tentu tahu bukan pintu tapi si gadislah yang aku tunggu-tunggu.
Pertanyaannya, buat apa? Kenyataannya pada saat ia lewat di depanku sama sekali tidak ada
yang aku lakukan. Sama sekali tidak ada kecuali acuh tak acuh, pura-pura tidak melihat, purapura
tidak perduli padahal ketika aku menunggu tadi aku gelisah setengah mati.
Nama gadis itu? Kemuning. Ah, sebenarnya itu nama gelar saja. Kebetulan waktu aku
melihatnya untuk pertama kali baju yang ia kenakan berwarna kuning. Adapun nama asli gadis
itu sampai sekarang aku belum tahu.
Kamu boleh menertawakan aku, tertawalah sepuasmu. Kenyataan siang malam aku
memikirkan seorang gadis yang belum aku kenal bahkan sekedar namanya. Padahal orang itu,
gadis itu belum tentu sekalipun pernah memikirkan aku. Kenyataan itu memang pantas untuk
ditertawakan. Tapi seperti di muka telah aku katakan kepadamu, semenjak aku melihatnya hatiku
dilanda kontradiksi perasaan. Aku mau mengajaknya berkenalan tapi aku malu untuk
mengatakannya. Aku berharap dapat mengenalnya lebih dekat tapi aku takut untuk memulainya.
Kawan, Tuhan itu maha pemurah. Berkali-kali Ia memberi kesempatan kepadaku untuk
mendekati si gadis, setidak-tidaknya sebagai langkah pertama untuk berkenalan. Tapi aku
dihadapan gadis itu macam maling ayam di hadapan polisi, gugup, cemas, gelisa, grogi, mau
ngomong takut salah. Berkali-kali Tuhan memberi kesempatan kepadaku, berkali-kali juga aku
menyia-nyiakannya. Mungkin Tuhan marah kepadaku atau mungkin Tuhan tidak marah, tapi
hanya menertawakan kebodohanku.
Kawan sekarang aku ingin bertanya kepadamu. Tahukah kamu apa yang sedang terjadi
pada diriku ini?
Benarkah yang kamu katakan kawan? Benarkah aku sedang jatuh cinta? Seperti inikah
rasanya orang jatuh cinta? Kalau benar aku sedang jatuh cinta, lalu apa yang harus aku lakukan?
Haruskah aku katakan pada gadis itu? Lalu bagaimanakah caranya? Seperti inikah.... aku ketuk
pintu kamarnya, saat ia muncul aku berlutut di depannya menirukan gaya seorang pangeran
bangsa Romawi yang sedang menyunting seorang putri seperti yang pernah aku lihat di sebuah
film di layar televissi. Kemudian pada gadis itu kupersembahkan setangkai kembang melati
sambil berkata ”wahai dikau wanita yang aku puja, yang entah siapa namanya, kepadamu sunggu
aku jatuh cinta”.
Aduh, kok ya jadi aneh. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba aku muncul di
depannya dan mengatakan perasaanku. Si gadis tentu melongo sambil bertanya ”siapa lu?”. iya
kalau Cuma itu, lah kalau ia tiba-tiba kena serangan jantung, syok berat kemudian masuk UGD.
Bisa-bisa aku masuk bui didakwa melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan. Bisa hancur
masa depanku.
Kawan, setrategi pertama yang di atas itu resikonya terlalu berat. Aku tak mau hanya
karena soal mengungkapkan perasaan, aku harus berurusan dengan polisi apalagi, sampai masuk
bui. Melalui telepon jelas tidak mungkin, darimana aku dapatkan nomor HP-nya. Bagaimana
kalau melalui surat? Iya melalui surat. Nah sebenarnya diam-diam sebuah surat telah aku buat
untuk gadis itu. Kawan kamu mau tahu isi surat itu? Ini biar aku bacakan.....

Dengan penuh semangat balas dendam aku tulis surat ini untukmu
Tanpa basa-basi
Coba tebak siapakah orang yang paling aku benci? Kalau kamu bertanya, tanpa ragu, tak
perlu berpikir dua akan aku jawab dengan pasti ”kamu”.
Kenapa? Kenapa katamu! Tidakkah kamu pernah berpikir betapa kurang ajarnya dirimu.
Coba bayangkan, di tengah malam buta, di saat semua orang sedang terlelap dalam buaian mimpi
indah, kamu, ya kamu. Kamu mengendap-endap bagai garong menyelinap di ketenangan hatiku,
seenaknya berkeliaran di benakku, mengobrak-abrik pikiranku, merampok waktu istirahatku.
Bagaimana aku tidak senewen. Kelakuanmu yang seperti garong itu kamu ulangi berkalikali,
lagi, lagi dan lagi. Di setiap malam tanpa rasa belas kasihan. Entah dosa apa yang telah aku
lakukan? Entah apa salahku kepadamu hingga kau berbuat kejam seperti itu?
Dan ini puisi kutulis untukmu
DASAR MALING
Kamu yang mengendap-endap di tengah malam buta
Menyelinap di ketenangan hatiku
Berkeliaran di dalam benakku
Mengobrak-abrik pikiranku
Merampok waktu istirahatku
Pada saat mentari pagi tiba
Pada saat itu aku sadari
Hatiku telah kamu curi
Malam ini aku sudah siap berjaga-jaga
Tak mau aku kecolongan untuk yang kedua kalinya
Kututup rapat semua pintu dan jendela ruang hatiku
Tapi entah bagaimana caranya
Di pagi hari berikutnya kembali aku sadari
Kini jiwaku yang kamu curi
Malam ketiga, aku lebih waspada dari sebelumnya
Kubacakan do’a dan mantra-mantra
Kutaburkan kembang tujuh rupa
Tak lupa dupa dan kemenyan aku bakar
Belajar dari pengalaman dua malam sebelumnya
Aku hampir yakin kamu sejenis jin atau siluman
Tapi apa yang terjadi....
Mungkin ini sudah suratan nasibku
Atau barangkali karena do’a dan mantra yang aku baca tadi malam salah
Boleh jadi kamu lebih sakti dari yang aku kira
Nyatanya pagi ini kembali aku sadari
Sekarang cintaku yang kamu curi
Dasar maling!!!!
Kau dengar itu kawan? Begitulah surat yang telah aku buat. Seperti itulah surat yang
ditulis oleh orang yang mendapatkan nilai 5 pada matapelajaran bahasa Indonesianya. Tidak
gaya apalagi romantis. Kemungkinan besar surat itu dirobek-robek kemudian dibuang di tempat
sampah. Boro-boro gadis itu akan terpikat hatinya setelah membaca suratku. Yang ada aku
dicaci-makinya sepanjang malam. Makanya surat itu tidak pernah aku kirimkan.

Keesokan harinya....
Kawan, tahukah kamu sekarang aku sedang merana
dalam duka. Belum sempat aku merasakan manisnya
cinta kini, aku telah patah hati. Bagaimana tidak, belum
sempat aku mengutarakan isi hatiku, si gadis telah pergi,
minggat entah kemana. Hancur hatiku dibuatnya. Hancur
berantakan, berkeping-keping, berserakan. Kejam nian
gadis itu. Atau akulah yang teramat bodoh, kenapa tidak
aku utarakan isi hatiku selagi ada kesempatan.

Sementara itu di dinding, di sebuah kamar dua ekor cicak sedang berbincang-bincang
satu dengan yang lainnya.
Cicak 1: Kau lihat laki-laki yang di sana itu?
Cicak 2: Iya, memang kenapa?
Cicak 1: dari kemarin aku perhatikan di berbicara dengan sebuah gitar. Kasihan benar
anak-cucu Adam yang satu itu, masih muda sudah gila
Cicak 2: kamu salah kawan. Dia tidak gila, kalau sedang tergila-gila mungkin.


Tamat.