Laman

Kamis, 29 Desember 2011

AKU DAN ANAK KECIL ITU

Jakarta di siang hari ibarat berada di depan pintu neraka. Kau pernah ke pintu neraka? Cobalah sekali-kali main ke sana, kalau aku terus terang belum pernah. Panas menyengat. Sinar matahari seakan membakar seluruh tubuh. Panasnya terasa ke ujung kepala. Itu belum seberapa. Masih ditambah dengan hiruk-pikuk lalu lintas kota. Suara bising kendaraan yang lalu-lalang. Salakkan klakson sahut-menyahut bagai anjing hutan kelaparan. Teriakan kondektur bus kota memanggil calon penumpang, kadang makian dan umpatan terlontar sambil menyebut penghuni kebun binatang Ragunan. Suara-suara itu berjejalan masuk ke telingaku tak kenal ampun. Entah kenapa keramahan dan keindahan kota Jakarta yang sering terlihat di layar televisi? Atau memang ini wajah aslinya?

Pentas kota raya ini aku saksikan di bawah naungan salah satu halte bus kota di jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Kau tentu tahu Tugu Selamat Datang dengan air mancur melambai-lambai. Dari tempat aku duduk sekarang, aku dapat melihat tinggi menjulang patung pria wanita itu berdiri. Sudah berapa lama meraka di sana? Kasihan sekali nasib mereka.

Seorang anak laki-laki datang menghampiriku. Dari topi yang ia pakai terlihat gambar lambang partai politik peserta pemilu. Kaus biru lusuh, luntur warnanya mungkin karena keseringan dipakai dan dicuci. Celana pendek hitam yang ia kenakan tidak lebih baik keadaanya. Dan yang melindungin telapak kakinya dari sengatan panasnya aspal adalah sandal jepit merek Swallow.

“Sepatunya mau disemir om?” tanya sang bocah. Matanya memancarkan cahaya penuh pengharapan. Terdengar lebih sebagai permohonan dari pada pertanyaan.

“Maaf dik”, kepalaku menggeleng pelan.

Mendengar jawaban dariku ia nampak kecewa. Seketika pancaran di bola matanya padam. Akan tetapi mengembang juga senyum lugu dari bibir mungilnya. Mungkin ia sedang menabahkan diri atau sudah terbiasa menerima penolakan. Kemudian ia pun duduk di halte yang sama dengan ku. Tidak terlalu dekat. Kotak semirnya ia letakkan di atas paha. Kakiknya bergoyang-goyang, boleh jadi di dalam hati ia sedang berdendang.

Lihat anak sekecil itu, kutaksir umurnya tidak lebih dari 8 tahun, seharusnya berada di dalam kelas sedang menerima cahaya ilmu dari guru teladan. Atau sedang bermain dengan anak-anak seusianya menikmati masa kecil bahagia. Dia masih teramat muda untuk hidup di jalan kota besar. Baik fisik maupun mentalanya masih sangat rapuh untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Di rimab raya kota Jakarta apapun bisa terjadi. Cukup sering diberitakan baik di televisi maupun di surat kabar, anak seusianya menjadi korban kekerasan, pemerasan, pelecehan seksual dan tindak kejahatan lainnya.

Aku palingkan pandanganku dari anak kecil itu, tak sanggup aku melihatnya. Berkelebat di dalam pikiranku, bagaimana kalau anakku nanti bernasib seperti anak itu? Bagaimana kalau anak itu ternyata anakku? Ah, aku tak sangguh membayangkan betapa teriris-irisnya perasaan hatiku.

Aku dan anak kecili itu, nasibku tidak lebih baik darinya.

Tiga bulan yang lalu aku masih bekerja dengan gaji yang tak mungkin bisa membuat aku cepat menjadi orang kaya. Akan tetapi setidak-tidaknya nasibku lebih baik dari mereka yang masih berada di dalam antrian panjang para pengangguran. Itu tiga bulan yang lalu sebelum perusahaan di mana aku bekerja mengeluarkan kebijakan “restrukturisasi”, demikian istilah yang mereka pakai untuk mengusirku.

Dipecat, kenapa harus takut? Aku masih muda. Umurku baru 29 tahun. Lajang tanpa kewajiban menafkahi anak-istri. Pemecatan bukan akhir dari segalanya, bukan kiamat. Demikian aku menghibur diri sendiri. Sumpah ini sulit. Kenyataannya pemecatan itu bagai pukulan telak bagiku. Siapapun tahun biaya hidup di kota ini. Jangankan untuk makan-minum, sekedar untuk menunaikan hajat ketika kebetulan sedang kebelet pipis di terminal itu pun harus bayar. Bukan omong kosong kalau ada yang bilang bahwa di Jakarta apapun bisa dijadikan uang, atau dengan kata lain apapun harus dengan uang. Dan ketika mendadak aku kehilangan satu-satunya sumber penghasilanku aku menjadi limbung seperti seorang petinju terkena pukulan bertubi-tubi.

Roda kehidupan selalu berputar, kadang berada di atas, kadang berada di bawah. Jatuh bangun dalam hidup adalah hal biasa. Sekarang aku sedang berada di bawah putaran roda sang nasib. Tinggal bagaimana aku kembali bangkit dan bergerak maju. Aku yakin suatu saat nanti sang nasib akan membawaku ke puncak kehidupan. Aku yakin akan hal itu, aku harus yakin. Keyakinan itu jua yang membawaku sampai ke halte bus ini, membawa beberapa map berisi berkas-berkas lamaran kerja. Tak lupa di dalam hati aku berdo’a, semoga ada satu dua perusahaan yang membutuhkan darah segar untuk kembali diperas.

Sampai pada saat ini sudah 4 perusahaan yang aku datangi. Sungguh aneh, di kantor-kantor perusahan itu aku mengalami kejadian yang hampir sama. Resepsionisnya wanita cantik rupawan, menyambutku dengan senyum mengembang, menanyakan keperluanku dengan tutur kata halus lagi sopan, setelah aku jawab maksud dan tujuanku, resepsionis-resepsionis itu berkata “maaf untuk saat ini di perusahaan kami belum ada lowongan”. Sebagai penutupnya kemabli aku dihadiahi senyum yang tidak kalah manisnya dari yang pertama. Entah ini suatu kebetulan atau memang sudah menjadi standar baku di setiap perusahaan. Kepada resepsionis itu ingin aku katakan “bagaimana kalau aku melamarmu untuk menjadi istriku, apa kau menolakku juga?”. Tentu saja mereka akan menolak seorang pengangguran seperti aku ini.

Aku dan anak kecil itu, masih duduk di halte bus kota yang sama.

Melihat nasib anak itu dan nasibku sendiri rasa-rasanya ada yang salah di negeri tercinta ini. Di negeri yang terkenal akan subur tanahnya dan melimpah ruah sumber daya alamnya. Aku jadi bertanya-tanya kemana perginya semua sumber daya alam itu? Melihat gedung-gedung pencakar langit yang berdiri megah di sekitarku akupun bertanya-tanya, di nama nilai-nilai suci yang terkandung di dalam dasar negara, Pancasila? Apakah keberketuhanan seseorang ditujukan hanya di tempat ibadah dan pada saat peringatan hari besar keagamaan saja? Apakah kemanusiaan yang adil dan berada hanya kalimat suci tanpa perlu bukti? Apakah persatuan, hanya persatuan yang berdasarkan kesamaan kepentingan golongan bukan kepentingan bangsa? Apakah musyawarah mufakat hanya untuk melegalkan ambisi-ambisi golongan tertentu, segelintir orang yang mempunyai kekuasaan? Apakah keadilan sosial hanya sebagai dongeng sebelum tidur? Apakah……..

Belum lama berselang ramai diberikatan seorang koruptor dijemput dari luar negeri. Dijemput! Di lain pihak, maling motor kalau lagi beruntung paling-paling masuk bui, kalau sedang bernasib sial bisa diamuk massa sampai mati. Untuk mencegah para pejabat melalukan tindak pidana korupsi, ada yang mengusulkan untuk menaikan gaji dan tunjangan. Usul yang hebat. Entah apa yang diusulkannya demi mengetahui seorang nenek tua renta dihukum karena mencuri untuk sekedar membungkam rasa lapar.


Kalau ada yang harus disalahkan maka pilihat favorit jatuh pada pemerintah. Di terminal, warung kopi, tempat diskusi dan di ruang kuliah sering terdengar-pertanyaan-pertanyaan sinis seperti, abdi negara kok minta dilayani? Bagaimana bisa becus mengurus negara kalau sering keluyuran pada jam kerja? Gaji, fasilitas, tunjangan ini dan itu apa masih kurang, kok ya masih korupsi juga?


Hai, lancang benar dirimu bung! Lalu apa yang telah kamu berikan kepada bangsa dan negaramu? Nol besar, itu kalau kau mau tahun. Apa kamu mau jadi pahlawan bagi anak kecil itu? Menyedihkan sekali. Lihatlah keadaanmu tidak lebih baik darinya. Dan kemana saja kau selama ini? Dulu ketika kamu masih bekerja, kamu terlalu sibuk mengejar ambisi-ambisi pribadimu sendiri tanpa sedikitpun pernah perduli kepada keadaan di sekelilingmu. Di saat kamu sudah tidak punya kemampuan untuk membantu sesamamu kamu seakan-akan menjelma menjadi orang suci. Buat apa kalau yang bisa kamu lakukan hanya omong besar, tidak ada gunanya sama sekali. Kalau kamu ingin tahu, ibu pertiwi sudah muak dengan manusia macam kamu, sudah cukup banyak di negeri ini. Suara-suara ini tak lain berasal dari hatiku sendiri. Sungguh pahit mengetahui itu benar. Sungguh pahit walau terpaksa aku telan.


Aku dan pengkritik yang paling pedas sekalipun, siapakah yang bisa menjamin ketika diberi suatu jabatan tidak melakukan seperti orang yang dikritiknya. Atau jangan-jangan aku ini bukan korban dari ketidakadilan, tapi seorang pemangsa yang belum dapat kesempatan.


Aku dan anak kecil itu siapakah yang lebih tahu?

Rabu, 07 Desember 2011

Segelas Kopi Penuh Ironi

Segelas kopi hitam pekat sedikit berbusa Menemaniku pagi ini Mengawali hariku yang cerah, hari yang indah Berita koran pagi belum aku baca, tergeletak di atas meja Tapi dari melihat judul-judulnya saja Aku merasa yakin betapa suram nasib bangsa ini kelak dikemudian hari Teguk kopi pertama Sejumlah politisi Senayan diperiksa KPK Teguk Kopi Kedua Prilaku amoral semakin mewabah Teguk kopi ketiga Kesenjangan sosial semakin melebar Teguk kopi keempat Demo kaum buruh menuntut keadilan Teguk kopi kelima Aku bertekad berhenti membeli koran Kopi hitam pekat telah tandas Yang tersisa hanya ampas kopi di dalam gelas Mungkin begitu juga yang tersisa bagi anak-cucu generasi bangsa Dan nanti akan dicatat dalam sejarah Generasi sekarang hanya meninggalkan timbunan berjuta-juta masalah. Jakarta, Nov. 2011 Puisi terkait Penyesala Tiada Akhir